Laman

Minggu, 27 Maret 2011

Renungan

TANAH UNTUK NENEK DAN ANDY WARHOL

Seorang nenek berjalan terbungkuk-bungkuk oleh karung besar yang ia sandangkan di pundaknya. Pagi gelap di tengah luasnya perkebunan itu, cuaca tidak terlalu bersahabat. Masih terlihat beberapa genangan kecil sisa hujan lebat beberapa saat sebelumnya. Beberapa kali terlihat ia sapukan telapak kaki telanjangnya di genangan, entah untuk membersihkan kaki atau sekedar menyapa pagi.

Saya melihatnya dari balik jendela mobil offroad gagah beringas yang dikemudikan seorang teman. Teriakan Mick Jagger dari sound systemnya, buru-buru saya matikan. Masih dengan beringas, mobil itu dikemudikan ke arah sang nenek. Dengan ekspresi hormat, nenek itu menepi keluar dari garis jalan, bersusah payah mendongakkan kepalanya dan tersenyum menyapa.

Teman saya berhenti dan menawarkan tumpangan. Sebelum sang nenek menjawab, ia sudah melompat turun mengambil karung besar di pundak sang nenek, meletakkannya di bagasi dan membuka pintu untuk sang nenek. Melihatnya termangu ragu, teman saya kembali mempersilakan masuk.

Setelah mobil berjalan, teman saya menebak,”Mau ke pasar kan, nek?”. Sang nenek mengangguk takzim, lalu bertanya darimanakah kami sepagi ini sudah berada di tengah tempat yang menurutnya hanya layak dilintasi olehnya. Selagi saya masih takjub dengan fenomena ini, teman saya sudah asyik berbicang dengan sang nenek. Sang nenek bercerita tentang panen sayurannya yang agak terganggu belakangan ini, karena sejenis jamur yang menghinggapi dedaunannya. Karena jamur itu pula, ia hanya bisa memanggul kira-kira 10 kilogram hasil panen untuk dijual di pasar pagi itu. Tapi bagaimanapun juga, ia merasa lega, karena harga sayur hasil panennya sudah lebih baik sekarang: Rp. 1.000/kilogram.

Saya sempat melihat matanya berkilau ketika ia menceritakan rencananya untuk membeli beras, gula dan jajanan untuk cucunya dengan uang hasil panen. Sambil tetap mengemudikan mobilnya dengan beringas, teman saya menyarankan untuk memberi jarak yang lebih longgar untuk tanaman sayur sang nenek. Menurutnya, tanaman sayur sang nenek pasti akan berjamur di musim penghujan, jika kerapatan tanamnya tidak dikurangi. Sang nenek mendengar dengan serius, manggut-manggut, terdiam sejenak dan kemudian menanyakan jika ia harus mencabut beberapa tanamannya, ruang kosong itu bisa ditanami dengan sayuran jenis apa. Teman saya kemudian mulai menjelaskan banyak hal tentang sifat-sifat tanaman sayur, membuktikan pada dirinya sendiri, bahwa ia memang layak menyandang gelar akademis pertanian.

Tapi saya sudah terlanjur nanar. Kata-kata sang nenek yang menanyakan tentang bagaimana ia mengoptimalkan lahan sempitnya, bergaung memenuhi indra dengar saya, hingga saya tak mampu mendengar apa-apa lagi. Indra dengar saya terbuka kembali ketika sang nenek memperdengarkan doa untuk berterima kasih kepada kami. Puluhan, atau bahkan ratusan doa ia puisikan dari bibir tulusnya.

Setelah teman saya menurunkan karung besar sang nenek dan mempersilakannya turun, ia nyalakan kembali sound systemnya untuk berteriak-teriak lagi mengikuti Mick Jagger. Saya kecilkan suara sound systemnya, dan menanyakan apakah ia mengenal nenek tadi.

“Ya, ia tinggal di rumah kecil sebelah pos penghitungan hasil panen perkebunan ini. Suaminya sudah lama meninggal, anaknya lelakinya bekerja sebagai buruh di perkebunan, menantunya menjual nasi dan sayuran untuk makan siang buruh di sekitar rumahnya. Mereka menghidupi diri dari sayuran yang ditanam di seputar rumahnya”. Setelah membesarkan lagi dentuman The Rolling Stones, ia menepuk pundak saya dan berkata,”Orang-orang itu yang harusnya kuliah pertanian. Bukan orang kayak aku. Bener nggak?”

Saya mengangguk pelan, sambil bergumam lebih pelan lagi,”Orang-orang itu yang harusnya memiliki tanah berhektar-hektar, karena aku yakin, tidak sejengkalpun tanahnya akan dibiarkan terlantar.”

Menyadari bahwa mood saya agak berubah, teman saya mengalihkan tema pembicaraan,”Tahu nggak, Album The Rolling Stones ini covernya didesain Andy Warhol?”

Teman saya kemudian bercerita tentang Andy Warhol: seorang pelukis, pembuat film, pematung, penulis buku, ilustrator terkemuka yang mengumandangkan genre pop art, sampai ia dijuluki “The Pope of Pop”. The Economist -majalah ekonomi, politik, bisnis, keuangan, sains dan seni terkemuka yang sebaran distribusinya sampai ke Amerika Utara, Britania Raya, Eropa dan Asia Pasifik- menurunkan artikel tentangnya pada tahun 1963, ketika lukisannya yang berjudul “EIGHT ELVISES” terjual USD 100.000.000. Nilai yang meletakkannya dalam 5 besar jajaran lukisan dengan harga tertinggi di muka bumi setelah “No.5, 1948” karya Jackson Pollock yang terjual dengan harga USD 140 juta, “Woman III” karya Willem de Kooning yang terjual dengan harga USD 137,5 juta, “Portrait of Adele Bloch-Bauer I” karya Gustav Klimt yang terjual dengan harga USD 135 juta dan “Garçon à la pipe” karya Pablo Picasso yang terjual dengan harga USD 104,2 juta.

Samar-samar, saya mengingat Andy Warhol sebagai orang yang mengatakan bahwa setiap orang akan terkenal dalam hidupnya, setidaknya dalam 15 menit. Teman saya kemudian berkata bahwa banyak pernyataan Andy Warhol yang layak dikutip. Salah satu kutipan favoritnya adalah: having land and not ruining it, is the most beautiful art that anybody could ever want to own. Land really is the best art. Teman saya tertegun sejenak, tersadar dan berkata,”Wah, Andy Warhol layak juga ikut kuliah pertanian sama nenek tadi!”.

Saya tertegun agak lama, tersadar, kembali mengangguk pelan dan bergumam lebih pelan lagi,”Andy Warhol harusnya juga memiliki tanah berhektar-hektar, karena sepertinya, tidak sejengkalpun tanahnya akan dibiarkan terlantar”.

Begitu pelannya, sampai saya sendiri tidak mendengar

Selasa, 22 Maret 2011

Tahukah Anda Wong Fei Hung Adalah Seorang Ulama

Wong Fei Hung adalah seorang ulama, ahli pengobatan, dan ahli beladiri legendaris yang namanya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional China. Dia seorang muslim yang berani melawan penindasan.
Selama ini kita hanya mengenal Wong Fei Hung sebagai jagoan Kung fu dalam film “Once Upon A Time in China”. Dalam film itu, karakter Wong Fei Hung diperankan oleh aktor terkenal Hong Kong, Jet Li. Namun siapakah sebenarnya Wong Fei Hung?
Wong Fei Hung adalah seorang ulama, ahli pengobatan, dan ahli beladiri legendaris yang namanya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional China oleh pemerintah China. Namun Pemerintah China sering berupaya mengaburkan jatidiri Wong Fei Hung sebagai seorang muslim demi menjaga supremasi kekuasaan komunis di China.
Wong Fei-Hung dilahirkan pada tahun 1847 di Kwantung (Guandong) dari keluarga muslim yang taat. Nama Fei pada Wong Fei Hung merupakan dialek Canton untuk menyebut nama Arab, Fais. Sementara Nama Hung juga merupakan dialek Kanton untuk menyebut nama Arab, Hussein. Jadi, bila di-bahasa-arab-kan, namanya ialah Faisal Hussein Wong.
Ayahnya, Wong Kay-Ying adalah seorang Ulama, dan tabib ahli ilmu pengobatan tradisional, serta ahli beladiri tradisional Tiongkok (wushu/kungfu). Ayahnya memiliki sebuah klinik pengobatan bernama Po Chi Lam di Canton (ibukota Guandong).
Wong Kay-Ying merupakan seorang ulama yang menguasai ilmu wushu tingkat tinggi. Ketinggian ilmu beladiri Wong Kay-Ying membuatnya dikenal sebagai salah satu dari Sepuluh Macan Kwantung. Posisi Macan Kwantung ini di kemudian hari diwariskannya kepada Wong Fei Hung.
Kombinasi antara pengetahuan ilmu pengobatan tradisional dan teknik beladiri serta ditunjang oleh keluhuran budi pekerti sebagai Muslim membuat keluarga Wong sering turun tangan membantu orang-orang lemah dan tertindas pada masa itu. Karena itulah masyarakat Kwantung sangat menghormati dan mengidolakan Keluarga Wong.
Pasien klinik keluarga Wong yang meminta bantuan pengobatan umumnya berasal dari kalangan miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan. Walau begitu, Keluarga Wong tetap membantu setiap pasien yang datang dengan sungguh-sungguh. Keluarga Wong tidak pernah pandang bulu dalam membantu, tanpa memedulikan suku, ras, agama, semua dibantu tanpa pamrih.
Secara rahasia, keluarga Wong terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah melawan pemerintahan Dinasti Ch’in yang korup dan penindas. Dinasti Ch’in ialah Dinasti yang merubuhkan kekuasaan Dinasti Yuan yang memerintah sebelumnya. Dinasti Yuan ini dikenal sebagai satu-satunya Dinasti Kaisar Cina yang anggota keluarganya banyak yang memeluk agama Islam.
Wong Fei-Hung mulai mengasah bakat beladirinya sejak berguru kepada Luk Ah-Choi yang juga pernah menjadi guru ayahnya. Luk Ah-Choi inilah yang kemudian mengajarinya dasar-dasar jurus Hung Gar yang membuat Fei Hung sukses melahirkan jurus “Tendangan Tanpa Bayangan” yang legendaris.
Dasar-dasar jurus Hung Gar ditemukan, dikembangkan dan merupakan andalan dari Hung Hei-Kwun, kakak seperguruan Luk Ah-Choi. Hung Hei-Kwun adalah seorang pendekar Shaolin yang lolos dari peristiwa pembakaran dan pembantaian oleh pemerintahan Dinasti Ch’in pada 1734.
Hung Hei-Kwun ini adalah pemimpin pemberontakan bersejarah yang hampir mengalahkan dinasti penjajah Ch’in yang datang dari Manchuria (sekarang kita mengenalnya sebagai Korea). Jika saja pemerintah Ch’in tidak meminta bantuan pasukan-pasukan bersenjata bangsa asing (Rusia, Inggris, Jepang), pemberontakan pimpinan Hung Hei-Kwun itu niscaya akan berhasil mengusir pendudukan Dinasti Ch’in.
Setelah berguru kepada Luk Ah-Choi, Wong Fei-Hung kemudian berguru pada ayahnya sendiri hingga pada awal usia 20-an tahun, ia telah menjadi ahli pengobatan dan beladiri terkemuka. Bahkan ia berhasil mengembangkannya menjadi lebih maju.
Kemampuan beladirinya semakin sulit ditandingi ketika ia berhasil membuat jurus baru yang sangat taktis namun efisien yang dinamakan jurus “Cakar Macan” dan jurus “Sembilan Pukulan Khusus”.
Selain dengan tangan kosong, Wong Fei-Hung juga mahir menggunakan bermacam-macam senjata. Masyarakat Canton pernah menyaksikan langsung dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana ia seorang diri dengan hanya memegang tongkat berhasil menghajar lebih dari 30 orang jagoan pelabuhan berbadan kekar dan kejam di Canton yang mengeroyoknya karena ia membela rakyat miskin yang akan mereka peras.
Dalam kehidupan keluarga, Allah banyak mengujinya dengan berbagai cobaan. Seorang anaknya terbunuh dalam suatu insiden perkelahian dengan mafia Canton. Wong Fei-Hung tiga kali menikah karena istri-istrinya meninggal dalam usia pendek.
Setelah istri ketiganya wafat, Wong Fei-Hung memutuskan untuk hidup sendiri sampai kemudian ia bertemu dengan Mok Gwai Lan, seorang perempuan muda yang kebetulan juga ahli beladiri. Mok Gwai Lan turut mengajar beladiri pada kelas khusus perempuan di perguruan suaminya. Mok Gwai Lan ini kemudian menjadi pasangan hidupnya hingga akhir hayat.
Pada 1924 Wong Fei-Hung meninggal dalam usia 77 tahun. Masyarakat Cina, khususnya di Kwantung dan Canton mengenangnya sebagai pahlawan pembela kaum mustad’afin (tertindas) yang tidak pernah gentar membela kehormatan mereka. Siapapun dan berapapun jumlah orang yang menindas orang miskin, akan dilawannya dengan segenap kekuatan dan keberanian yang dimilikinya.
Wong Fei-Hung wafat dengan meninggalkan nama harum yang membuatnya dikenal sebagai manusia yang hidup mulia, salah satu pilihan hidup yang diberikan Allah kepada seorang muslim selain mati Syahid.
Semoga segala amal ibadahnya diterima di sisi Allah Swt dan semoga segala kebaikannya menjadi teladan bagi kita, generasi muslim yang hidup setelahnya. Amiin.[tribunnews]