Laman

Sabtu, 17 Maret 2012

Sejarah Geodesi di Indonesia

Pada abad 18 pengetahuan tentang pendalaman pulau jawa sangat kurang, terlebih daerah diluar Jawa. Pada saat pemerintahan Gouverneur General Daendels, diletakan dasar untuk pengukuran di pulau jawa. Pada tahun 1809 diangkat juru-juru ukur yang diambil sumpah untuk mengisi personil dalam organisasi “Biro Zeni” dalam gerakan-gerakan militer. Semua pejabat militer dan sipil mendapat instruksi untuk mengadakan pengukuran dan pemetaan, terutama kepada para perwira Zeni diberi tugas pengukuran dan waterpassingdengan menggunakan peta-peta laut sebagai dasar pembuatan peta. Setelah selesai peperangan di Jawa (Perang diponegoro tahun 1825-1830) timbul kebutuhan yang meningkat akan kebutuhan data geografi dan peta topografi yang lebih lengkap dari wilayah Hindia Belanda terutama ditujukan untuk pembuatan peta pertahanan Pulau Jawa. Pada awal abad ke-19 di Eropa terdapat anggapan bahwa pekerjaan pengukuran triangulasi harus dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan pekerjaan pemetaan. Anggapan ini baru dianut di Indonesia pada akhir abad ke-19, walaupun antara tahun 1839 hingga tahun 1848 Junghuhn telah membuat triangulasi pertama di Indonesia yang dijadikan dasar untuk pengukuran dan pemetaan di Pulau Jawa. Dari hasil pengukuran yang dilakukan dapat dihasilkan tiga peta dengan skala peta yang bervariasi. Peta-peta buatan Junghuhn tersebut tidak pernah dicetak, sebab disusul oleh pembuatan peta dengan skala 1 : 70 000 oleh Vander Welde tahun 1845, dan peta buatan Leclerq pada tahun 1850 dengan skala peta 1 : 100 000. Pemerintah Hindia Belanda semula merencanakan pengukuran dan pemetaan detail sekitar daerah Batavia (Jakarta) dan Buiterzorg (Bogor), namun segera diputuskan pemetaan topografi pertama dimulai di daerah residensi Batavia (tahun 1849-1853) olehTopografisch Bureau sebagai bagian dari Corps Genie. Hasil pekerjaan pengukuran dan pemetaan dengan skala peta 1 : 10 000 dan 1: 50 000 (hasil perkecilan skala peta) telah memperjelas manfaat serta kegunaan peta. Setelah selesai pemetaan di sekitar Batavia, proses pemetaan di Pulau Jawa diperluas lagi hingga ke Keresidenan Cirebon. Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Prof. Ir. J.H.G Schepers pada sidang umum International Union of Geodesy and Geophysics (IUGG) pada tahun 1931, dapat dibaca tentang sejarah pemetaan topografi di Indonesia pada masa lalu. Pada tahun 1850 dibentuklah Dinas Geografi (Geografische Dients) sebagai bagian dari angkatan laut dengan tugas untuk menetapkan posisi geografi dari berbagai stasiun di Indonesia dengan pengamatan bintang. Pada tahun 1864 dibentuk Topografisch Bureau en der Militaire Verkeuningen di bawah kesatuan Zeni dengan tugas pengukuran topografi di Pulau Jawa. Pada tahun 1874 Bureau ini dialihkan menjadi Topografische Dients (Dinas Topografi) di bawah staf umum angkatan darat, pada tahun 1907 dipisahkan lagi dari staf umum untuk menjadi bagian yang berdiri sendiri yang dikenal dengan nama “IXde Afdeeling van let Department van Oorlog” (Afdeeling ke-9 dari departemen peperangan) atau lazim disebut dinas topografi militer. Pada tahun 1857, Dr. Oudemans (Guru besar Astronomi pada universitas Utrecth) datang ke Indonesia dan meyakinkan perlunya triangulasi yang teratur untuk pemetaan topografi yang sekaligus dapat dimanfaatkan untuk keperluan ilmiah didalam menentukan dimensi bumi. Pada tahun 1862 triangulasi pulau jawa dimulai dibawah pimpinan Dr. Oudemans sendiri dan selesai pada tahun 1880, sesudah dinas geografi dibubarkan. Pekerjaan triangulasi ini dikerjakan setelah pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk memulai pemetaan sistematik di Indonesia yang dimulai dari pulau Jawa dan Madura, serta dilakukan oleh pemerintah sendiri (Governments Besluit No 10 tanggal 25 Desember 1853). Pada tahun 1883 dibentuk brigade triangulasi sebagai bagian dari dinas topografi militer untuk meneruskan pekerjaan triangulasi di pulau Sumatera dan pulau-pulau lainnya. Brigade ini dipimpin oleh Dr. J.J.A Mueller. Sejak tahun 1913 Brigade dipimpin oleh Prof. Ir. J.H.G. Schepers dan diserahi tugas survey geodesi untuk seluruh Kepulauan Indonesia (triangulasi, pengamatan astronomi, sipat datar teliti di Jawa ). Menjelang pecahnya perang Dunia II, pimpinan Brigade Triangulasi adalah Prof. Ir. P.H. Poldevaart, sehingga praktis pimpinan dan staf Brigade ini (merupakan bagian terpenting pada dinas topografi militer) adalah sarjana-sarjana yang berstatus pegawai sipil (burgelijk ambtenaar). Selama perang Dunia II dimana pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang. KantorTopographische Dients dipindahkan dari Jakarta ke Bandung dengan nama kantor diubah menjadi Sokuryo Kyoku yang berarti kantor pengukuran. Pada tanggal 28 September 1945 setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Sokuryo Kyoku direbut dari tangan Jepang, dan diubah namanya menjadi Jawatan Topografi Republik Indonesia dipimpin oleh Ir. Soetomo Wongsotjitro (kemudian dikenal sebagai Guru Besar pada bagian geodesi, Fak. Teknik Universitas Indonesia) yang bernaung dibawah Kementrian Pertahanan. Hal ini ditetapkan dengan ketetapan pemerintah Republik Indonesia No. 46 tanggal 26 April 1946, kedudukan Jawatan ini bermula ada di Malang kemudian pindah ke Solo pada tahun 1947, dan akhirnya pindah ke Yogyakarta pada tahun 1949. Berdasrkan surat keputusan KASAD No. Skep/691/VII/1986, tanggal 26 April 1946 ditetapkan sebagai hari lahir Corp Topografi TNI-AD. Pada saat yang sama pemerintah Belanda menduduki sebagaian daerah Republik Indonesia membentuk kembaliTopografische Dients KNIL (Tentara kerajaan Hindia Belanda) dengan balai Geodesi di Bandung (1947), balai Geografi, dan balai Fotogrametri di Jakarta (1947). Balai Geodesi ini melanjutkan pekerjaan-pekerjaan yang telah dilakukan oleh Brigade Triangulasi. Pada tanggal 17 Juni 1950, Jawatan Topografi Republik Indonesia mengambil alih Topografische Dients KNIL beserta semua lembaga-lembaga yang ada, sehingga di Indonesia hanya ada satu lembaga pemetaan topografi dibawah Kementrian Pertahanan yang berkedudukan di Jakarta (semula bernama Direktorat Topografi Angkatan Darat kemudian diganti menjadi Jawatan Topografi Angkatan Darat). Sejak tahun 1950 praktis tidak ada pemetaan baru. Pekerjaan dengan anggaran yang sangat terbatas hanya meliputi revisi peta-peta lama serta kompilasi peta-peta skala kecil (1:250 000 dan 1:1 000 000). Pekerjaan triangulasi adalah melanjutkan triangulasi di Nusa Tenggara Timur dan beberapa pengukuran Laplace. Pada tanggal 31 Maret 1951 dengan peraturan pemerintah No. 23 Tahun 1951 tentang pejabat-pejabat hidrografi pelayaran sipil, memutuskan bahwa di Indonesia terdapat dua pejabat Hidrografi yaitu pejabat hidrografi sipil yang bernama :  Bagian Hidrografi dan menjadi bagian dari Jawatan Pelayaran, Kementerian Perhubungan.  Bagian Hidrografi angkatan laut, yang menjadi bagian staf angkatan laut. Selanjutnya melalui Kepres No. 164 Tahun 1960, bagian Hidrografi dari Jawatan Pelayaran kementerian perhubungan digabungkan pada Jawatan Hidrografi Angkatan Laut. Pada tanggal 23 November 1951, dengan peraturan pemerintah No. 71 Tahun 1951 (Lembar Negara Nr. 116, 1951) membubarkan “Raad en Directorium loor het meet en kaarteerwezen” ( dibentuk berdasarkan ”Gouvermentsbesluit” tanggal 17 Januari 1948), dan menetapkan pembentukan ”Dewan Pengukuran dan Penggambaran Peta (Dewan Atlas)” yang bertugas mengkoordinasi segala pekerjaan pengukuran dan penggambaran peta diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia (pasal 2 dan 3). Peraturan pemerintah ini juga membentuk ”Direktorium Pengukuran dan Penggambaran Peta” yang bertugas menyelenggarakan koordinasi dan menjalankan segala pekerjaan mengenai lapangan ilmu geodesi dan yang bersangkutan dengan itu. Kepala staf angkatan perang dan para Sekretaris Jenderal Kementerian Kehakiman, Perekonomian, Pertanian, Pekerjaan Umum dan Tenaga, atau wakil-wakilnya, karena jabatannya menjadi anggota Dewan. Kepala Jawatan Topografi dan Kepala Pendaftaran Tanah karena jabatannya menjadi anggota direktorium yang hadir dalam rapat dewan (pasal 6 dan 8). Sebagai ketua dewan adalah kepala staf Angkatan Perang. Pada tahun 1964 pemerintah Indonesia mengadakan pekerjaan survey dan pemetaan yang berhubungan dengan wilayah kekuasaan negara, yaitu dalam penertiban tapal batas internasional antara Irian Barat dengan Papua Nugini. Pada tahun 1966 dan 1967 dilaksanakan Expedisi Cendrawasih – II, yaitu pekerjaan mencari dan menandai meridian seperti yang disebutkan dalam perjanjian tapal batas antara delegasi Indonesia dengan Australia. Tim Indonesia terdiri atas unsur Dinas Geodesi dari Topografi AD yang dipimpin oleh Kolonel CZI Ir Pranoto Asmoro, dan ITB dibawah pimpinan Dr –Ing, Ir. J. Soenarjo. Batas wilayah Indonesia ini ditandai dengan 14 tugu perbatasan berupa piramida terpancung tinggi 160 cm memanjang dari utara ke selatan sampai Fly River pada meridian 1410 00’ 00” BT dab dari Fly River ke selatan pada posisi 1410 01’ 01” BT. Berdasarkan keputusan Presedium Kabinet Kerja Republik Indonesia No. Aa/D/37 1964 tanggal 28 April 1964, Pemerintah membubarkan panitia Atlas dengan membentuk Badan Atlas Nasional (BATNAS). Pada tanggal 17 September 1965 dengan Keputusan Presiden RI No 263 menetapkan Dewan Survey dan Pemetaan Nasional (DESURTANAL) serta pembentukan Komando Survey dan Pemetaan Nasional (KOSURTANAL) dengan tujuan agar diusahakan seminimum mungkin duplikasi usaha-usaha, pemborosan keuangan dan personil, dan pemanfaatan sebaik mungkin data teknis dan informasi yang dihimpun oleh berbagai instansi untuk kepentingan instansi yang memerlukannya. Komando ini sedikit banyak telah memberikan pengertian kepada pemerintah tentang artinya pemetaan nasional untuk kepentingan pembangunan dan pertahanan. Adanya BATNAS, DESURTANAL serta KOSURTANAL mencerminkan tidak adanya efisiensi dan penghematan dalam pengeluaran keuangan negara. Oleh karena itu dalam rangka penertiban aparatur pemerintahan, pemerintah memandang perlu untuk meninjau kembali kedudukan tugas dan fungsi badan-badan yang melakukan kegiatan dibidang survey dan pemetaan. Berdasarkan Keputusan Presiden No 83 tahun 1969 tanggal 17 Oktober 1969, maka dicabut Kepres RI No 263/1965 tentang pembentukan DESURTANAL dan KOSURTANAL, serta Keputusan Presidium Kabinet Kerja RI No Aa/D/37/1964 tentang pembentukan BATNAS, kemudian menetapkan pembentukan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional yang disingkat BAKOSURTANAL sebagai lembaga Non Departemen di bawah Presiden. Tugas BAKOSURTANAL adalah meneruskan usaha-usaha koordinasi guna mencapai effisiensi dan pemanfaatan semaksimum mungkin potensi nasional dalam bidang survey dan pemetaan disamping sebagai badan yang merencanakan dan melaksanakan program survey dasar sumber alam serta pemetaan nasional. Untuk pertama kalinya diangkat sebagai ketua BAKOSURTANAL adalah Ir.Pranoto Asmoro (Mayor Jenderal Purnawirawan TNI-AD).

Senin, 30 Januari 2012

ILMU UKUR TANAH

GEODESI MENCAKUP KAJIAN DAN PENGUKURAN LEBIH LUAS, TIDAK SEKEDAR PEMETAAN DAN PENENTUAN POSISI DI DARAT, NAMUN JUGA DIDASAR LAUT UNTUK BERBAGAI KEPERLUAN, JUGA PENENTUAN BENTUK DAN DEMENSI BUMI BAIK DENGAN PENGUKURAN DIBUMI DAN DENGAN BANTUAN PESAWAT UDARA, MAUPUN DENGAN SATELIT DAN SISTEM INFORMASINYA. ILMU UKUR TANAH DIDEFINISIKAN ILMU YANG MENGAJARKAN TENTANG TEKNIK-TEKNIK / CARA-CARA PENGUKURAN DIPERMUKAAN BUMI DAN BAWAH TANAH DALAM AREAL YANG TERBATAS (±20’-20’ ATAU 37 Km x 37 Km) UNTUK KEPERLUAAN PEMETAAN DLL. MENGINGAT AREAL YANG TERBATAS , MAKA UNSUR KELENGKUNGAN PERMUKAAN BUMI DAPAT DIABAIKAN SEHINGGA SISTEM PROYEKSINYA MENGGUNAKAN PROYEKSI ORTHOGONAL DIMANA SINAR-SINAR PROYEKTOR SALING SEJAJAR ATAU SATU SAMA LAIN DAN TEGAK LURUS BIDANG PROYEKSI. SEDANGKAN PADA PETA DAPAT DIDEFINISIKAN SEBAGAI GAMBARAN DARI SEBAGIAN PERMUKAAAN BUMI PADA BIDANG DATAR DENGAN SKALA DAN SISTEM PROYEKSI TERTENTU. UNTUK MEMUDAHKAN PENENTUAN SUATU WILAYAH, MAKA BUMI DIBATASI MENJADI GARIS BUJUR DAN GARIS LINTANG JENIS PETA Peta bisa dijeniskan berdasarkan isi, skala, penurunan serta penggunaannya. Peta berdasarkan isinya: 1. Peta hidrografi: memuat informasi tentang kedalaman dan keadaan dasar laut serta informasi lainnya yang diperlukan untuk navigasi pelayaran 2. Peta geologi: memuat informasi tentang keadaan geologis suatu daerah, bahan-bahan pembentuk tanah dll. Peta geologi umumnya juga menyajikan unsur peta topografi. 3. Peta kadaster: memuat informasi tentang kepemilikan tanah beserta batas dll-nya. 4. Peta irigasi: memuat informasi tentang jaringan irigasi pada suatu wilayah. 5. Peta jalan: memuat informasi tentang jejaring jalan pada suatu wilayah 6. Peta Kota: memuat informasi tentang jejaring transportasi, drainase, sarana kota dll-nya. 7. Peta Relief: memuat informasi tentang bentuk permukaan tanah dan kondisinya. 8. Peta Teknis: memuat informasi umum tentang tentang keadaan permukaan bumi yang mencakup kawasan tidak luas. Peta ini dibuat untuk pekerjaan perencanaan teknis skala 1 : 10 000 atau lebih besar. 9. Peta Topografi: memuat informasi umum tentang keadaan permukaan bumi beserta informasi ketinggiannya menggunakan garis kontur. Peta topografi juga disebut sebagai peta dasar. 10. Peta Geografi: memuat informasi tentang ikhtisar peta, dibuat berwarna dengan skala lebih kecil dari 1 : 100 000. PETA BERDASARKAN SKALANYA: 1. Peta skala besar: skala peta 1 : 10 000 atau lebih besar. 2. Peta skala sedang: skala peta 1 : 10 000 - 1 : 100 000. 3. Peta skala kecil: skala peta lebih kecil dari 1 : 100 000. PETA TANPA SKALA KURANG ATAU BAHKAN TIDAK BERGUNA. SKALA PETA MENUNJUKKAN KETELITIAN DAN KELENGKAPAN INFORMASI YANG TERSAJI DALAM PETA. PENULISAN SKALA PETA SKALA PETA DAPAT DINYATAKAN DALAM BEBERAPA CARA : 1. ANGKA PERBANDINGAN MISAL 1: 1.000.000 MENYATAKAN 1 cm atau 1 inch DI PETA SAMA DENGAN 1.000.000 cm/ inch DIPERMUKAAN BUMI 2. PERBANDINGAN NILAI MISAL 1 CM UNTUK 10 km 3. SKALA BAR ATAU SKALA GARIS GARIS INI DITETAPKAN ATAU DIGAMBARKAN DALAM PETA DAN DIBAGI-BAGI DALAM INTERVAL YANG SAMA, SETIAP INTERVAL MENYATAKAN BESARAN PANJANG YANG TERTENTU. PADA UJUNG LAIN, BIASANYA SATU INTERVAL DIBAGI-BAGI LAGI MENJADI BAGIAN YANG LEBIH KECIL DENGAN TUJUAN AGAR PEMBACA PETA DAPAT MENGUKUR PANJANG DALAM PETA SECARA LEBIH TELITI. PETA BERDASARKAN PENURUNAN DAN PENGGUNAAN Peta dasar: digunakan untuk membuat peta turunan dan perencanaan umum maupun pengembangan suatu wilayah. Peta dasar umunya menggunakan peta topografi. Peta tematik: dibuat atau diturunkan berdasarkan peta dasar dan memuat tema-tema tertentu. ARTI PENTING PETA (IUT) DALAM TEKNIK SIPIL (REKAYASA) INFORMASI YANG TERDAPAT DALAM PETA: 1. MERUPAKAN MINIATUR BENTANG ALAM DARI DAERAH YANG TERPETAKAN 2. JARAK, ARAH, BEDA TINGGI DAN KEMIRINGAN DARI SATU TEMPAT KE TEMPAT LAINYA 3. ARAH ALIRAN AIR PERMUKAAN DAN DAERAH TANGKAPAN HUJAN 4. UNSUR-UNSUR ATAU OBYEK YANG TERGAMBAR DI LAPANGAN 5. PERKIRAAN LUAS SUATU WILAYAH 6. POSISI SUATU TEMPAT SECARA RELATIF 7. JARINGAN JALAN DAN TINGKAT ATAU KELASNYA 8. PENGGUNAAN LAHAN, DLL. JENIS PENGUKURAN PENGUKURAN UNTUK PEMBUATAN PETA BISA DIKELOMPOKKAN BERDASARKAN CAKUPAN ELEMEN ALAM, TUJUAN, CARA ATAU ALAT DAN LUAS CAKUPAN PENGUKURAN. Berdasarkan alam:  Pengukuran daratan (land surveying): antara lain pengukuran topografi, untuk pembuatan peta topografi, dan pengukuran kadaster, untuk membuat peta kadaster.  Pengukuran perairan (marine or hydrographic surveying): antara lainpengukuran muka dasar laut, pengukuran pasang surut, pengukuran untuk pembuatan pelabuhan dll-nya.  Pengukuran astronomi (astronomical survey): untuk menentukan posisi di muka bumi dengan melakukan pengukuran-pengukuran terhadap benda langit. Berdasarkan tujuan: • Pengukuran teknik sipil (engineering survey): untuk memperoleh data dan peta pada pekerjaan-pekerjaan teknik sipil. • Pengukuran untuk keperluan militer (miltary survey). • Pengukuran tambang (mining survey). • Pengukuran geologi (geological survey). • Pengukuran arkeologi (archeological survey). Berdasarkan cara dan alat: a. Pengukuran triangulasi, b. Pengukuran trilaterasi, c. Pengukuran polygon, d. Pengukuran offset, e. Pengukuran tachymetri, f. Pengukuran meja lapangan, g. Aerial survey, h. Remote Sensing, dan i. GPS. a, b, c dan i untuk pengukuran kerangka dasar, d, e, f, g dan h untuk pengukuran detil. Berdasarkan luas cakupan daerah pengukuran: Pengukuran tanah (plane surveying) atau ilmu ukur tanah dengan cakupan pengukuran 37 km x 37 km. Rupa muka bumi bisa dianggap sebagai bidang datar. Pengukuran geodesi (geodetic surveying) dengan cakupan yang luas. Rupa muka bumi merupakan permukaan lengkung. PENGUKURAN DAN PEMETAAN DALAM DAUR PEKERJAAN TEKNIK SIPIL BANGUNAN-BANGUNAN TEKNIK SIPIL BUKANLAH SISTEM YANG MATI. JARINGAN JALAN MISALNYA, MERUPAKAN SISTEM YANG MEMPUNYAI DAUR HIDUP, YAITU MEMPUNYAI UMUR RENCANA DENGAN ANGGAPAN-ANGGAPAN TERTENTU, MISALNYA VOLUME LALU-LINTAS YANG SELALU BERUBAH DARI WAKTU KE WAKTU. URUTAN DAUR PENGEMBANGAN SEBETULNYA TIDAK HARUS BERUPA LANGKAH DESKRIT DARI AWAL TERUS SELESAI, TETAPI LEBIH MENYERUPAI PROSES YANG MELINGKAR DAN MUNGKIN MELONCAT. PROSES PEMETAAN TERISTRIS PEMETAAN TERISTRIS ADALAH PROSES PEMETAAN YANG PENGUKURANNYA LANGSUNG DILAKUKAN DIPERMUKAAN BUMI DENGAN PERALATAN TERTENTU. WAHANA PEMETAAN TIDAK HANYA DAPAT DILAKUKAN SECARA TERISTRIS, NAMUN DAPAT PULA SECARA FOTOGRAMETIS (FOTO UDARA), RADARGRAMETRIS (BERBEDA PANJANG GELOMBANG DGN FOTOGRAMETRIS), VIDEOGRAFIS, TEKNOLOGI SATELIT DSB. DASAR PEMILIHAN WAHANA PEMILIHAN WAHANA TERSEBUT TERGANTUNG DARI : 1. TUJUAN PEMETAAN 2. TINGKAT KERINCIAAN OBYEK YANG HARUS DISAJIKAN 3. CAKUPAN WILAYAH YANG DIPETAKAN.

Minggu, 22 Januari 2012

Sosok Ulama yang Dirindukan Umat

Suatu hari, ulama terkemuka bernama Imam Nawawi dipanggil Raja azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Imam Nawawi yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana pun datang memenuhi undangan sang raja. Tanda tanganilah fatwa ini, perintah Raja Bebris sembari meremehkan. Imam Nawawi membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja pun marah dan bertanya, Mengapa? Imam Nawawi menjawab, Karena fatwa ini berisi kezaliman yang nyata. Raja semakin murka, Pecat ia dari semua jabatannya! Para pembantu raja berkata, Ia tidak punya jabatan sama sekali. Raja sebenarnya ingin membinasakanya, akan tetapi Allah menghalanginya. Mengapa baginda tak membunuhnya, padahal dia sudah bersikap demikian? tanya para pembantu raja. Demi Allah, aku sangat segan padanya, jawab sang raja. Kisah di atas menggambarkan betapa Imam Nawawi sebagai seorang ulama dan guru umat berani mengatakan kebenaran di depan penguasa zalim. Secara tegas, Imam Nawawi menolak fatwa yang berisi rencana pemerintah yang hendak memungut infak wajib dari masyarakat demi keberlangsungan roda pemerintahan. Padahal, ketika itu para pejabat dan keluarganya hidup bersenang-senang dengan memakai perhiasan berlebih serta menggunakan fasilitas negara seenaknya, sementara rakyatnya hidup dalam kesusahan. Keberanian Imam Nawawi patut kita jadikan teladan. Ia adalah sosok guru yang berani mengungkapkan pendapatnya yang berseberangan dengan keinginan penguasa zalim. Sosok ulama dan guru seperti inilah yang saat ini kita butuhkan. Tokoh seperti inilah yang layak dijadikan wakil rakyat, yang dapat membela dan menyampaikan aspirasi rakyat, bukan sebaliknya. Imam Nawawi adalah sosok guru yang zuhud, wara, takwa, sederhana, kanaah, serta berwibawa. Ia menggunakan banyak waktu dalam ketaatan. Ia sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis, juga menegakkan amar makruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa. Sering kali ia menulis surat berisi nasihat untuk pemerintah dan pejabat dengan menggunakan tutur kata yang baik. Masyarakat yang sezaman dengan imam Nawawi memberinya gelar Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Ia adalah sosok ulama dan guru umat yang diidam-idamkan. Ya Allah, utuslah kepada kami guru yang benar-benar pewaris para nabi kenegeri kami tercinta. Amin.